“Jika kamu tanyakan padaku, seberapa kuat aku mencintaimu, aku takkan menjawab seluas samudra dan lautan, setinggi gunung atau apapun. Sederhana saja, aku mencintaimu sepertihalnya bagaimana kamu mencintai dia.”
Aku
tak pernah tahu jika kamu bertahan memangku jarak yang terasa begitu berat,
diam dan berusaha menahan nafas agar dia di sampingmu tidak mengetahui jika
kamu memperhatikannya. Menyelam ke dalam pejaman matanya. Dalam kepalan
tanganmu, kamu yakin satu hal, kamu akan menjaganya, melindunginya. Kamu remuk
melihat kerapuhan dalam senyumannya. Dan tahukah kamu? Aku meretak. Remuk.
Runtuh. Diam tak terkata.
“Aku dikoyak-koyak rasa. Akan kubawa cinta ini dalam ukiran aksara nisan. Biar ia mati, diam, tak lagi berontak tuk merasa. Mungkin ini akan menjadi aksara paling menyakitkan dariku tentangmu yang pernah tertuang.” –di kala kamu berhasil mengoyakku pada aksara sederhana yang kamu lukiskan.
Kan
kutaburkan kelopak-kelopak Kamboja di atas potongan cinta yang kuletakkan pada
luka yang tengah menganga. Bahkan, aku menulis ini ditemani alunan nada lagu
yang kamu berikan khusus untuknya. Katakan padaku! Dimana harus kuletakkan
cinta yang berdarah ini kecuali di atas gundukan tanah berbatu nisan?
Sesungguhnya,
aku lelah mengabstraksi kata-kata agar kamu tak mengetahui aku sedang
menggoreskan kamu dan dia. Kamu dan dia. Bukan kita, siapa aku? Bukankah hanya seseorang
yang berusaha ingin menjadi hujan hanya agar bisa menyentuh dan memelukmu tanpa
perlu memberi alasan atas pertanyaan mengapa.
“Jika aksara ini tak lagi mampu mengetukmu, katakan padaku, dengan air mata apa lagi aku bisa meyakinkanmu? Bahwa aku mencintaimu dengan sederhana.”
Aku
mencintaimu dengan sederhana. Sesederhana ketika rasa pertama yang muncul
ketika kamu melihat dia di sebuah jalan sepi sehabis hujan, mungkin dia atau
perasaanmu yang mengharapkan dia ada. Aku mencintaimu dengan sederhana.
Sesederhana ketika kamu memperhatikan hal-hal kecil tentangnya. Aku mencintaimu
dengan sederhana. Sesederhana langit yang berusaha menyatakan rasanya kepada
Bumi lewat rintik lembut hujan. Aku mencintaimu dengan sederhana. Sesederhana
ketika kamu berharap ada rasa yang bertemu antara kamu dengannya. Sesederhana
ketika aku pun membungkus teriakkan dalam bisikan; aku mencintaimu, kamu dan
dia tak perlu tahu. Aku mencintaimu dengan sederhana. Kamu mencintainya dengan
sederhana. Sesederhana ketika aku berkata, cintailah dia. Aku di sini menikmati
bagaimana aku tertunduk tenggelam dalam sesak, membiarkan air mata dan hujan
mengaburkan pandanganku ketika kamu dan dia bersama dalam genggaman tangan di
sebuah ruang kelas. Dan di sini, aku sibuk mengaksarakan tentang luka-luka
rasa.
-di
saat aku berusaha mendiamkan rindu. Menghabiskan rasa.
0 Comments:
Post a Comment