Friday, 29 March 2013

Memotong Rembulan



Senja sejenak lagi ‘kan dipetik cakrawala. Aku duduk dibalik kaca jendela salah satu mobil angkutan umum berbulir air hujan. Kuciptakan celah yang membiarkan angin menyapa masuk. Duduk diam termenung lama sampai mobil berhenti dan masuk seorang anak kecil sekiranya berumur 7 tahun. Ia duduk di bawah, tepat di pintu masuk. Dingin alumunium yang menjadi alas duduknya tak dipedulikannya. Dengan kaleng kumuh, ia mulai memukul-mukul tangannya dan bernyanyi ria walau terdengar asal. Tak banyak orang di mobil itu. Hanya ada aku dan seorang ibu. Beberapa receh sudah ada digenggaman ibu itu. Lagu selesai dan receh itu pun berganti tempat ke dalam kaleng milik si anak kecil kumal berkaus kuning lusuh. Si anak kecil menatapku dengan binar harap penuh, aku tersenyum dan bertanya padanya, apa ia tidak takut jatuh dengan posisi duduk seperti itu? Hatiku teriris, sesungguhnya aku ingin bertanya; bagaimana ia meniti waktu dengan hanya bermodalkan Bumi sebagai alas dan langit sebagai atap? Si anak hanya terdiam dan kembali duduk. Matanya nanar melempar keluar pandangan, maniknya bercerita berat akan banyak hal yang semakin mengoyak. Mobil itu jauh membawanya ke tempat yang bahkan aku tak tahu ia kenal atau tidak, menembus kabut hujan, senja emas semakin tertarik menuju anasir yang membentuk malam. Aku meringkuk dalam peluk sendiri, sibuk mengecam negara dan pasal-pasal yang melindungi anak-anak sepertinya. Dalam dimensi lain yang dihadirkan waktu, mataku menangkap seorang Bapak yang sedang membukakan bungkus es krim berbatang untuk anaknya, menemukan seorang Ibu yang mengatur posisi agar anaknya bisa digendong di punggungnya, seorang Ayah yang membuatkan video untuk dikirimkan pada anaknya yang tinggal jauh dengannya, seorang tukang becak tidur dengan posisi memprihatinkan; mungkin lelah. Aku bergetar, ada kecamuk rasa yang bermain di dalam, betapa kaca mata dunia ini adalah mereka. Ini potret yang meremukkan. Ini pigura yang menghantam.
Aku belum turun dari mobil itu, ketahuilah. Sebelum ada sepasang mata yang memecah bendungan air mata, aku merogoh saku, menemukan receh untuknya. Ada sejumput doa-doa kecil di receh dan tegadahan tangan penuh noda itu; suatu saat nanti kita akan memotong rembulan untukmu. Aku meminta supir memberhentikan mobil, turun dari sana, sesegukkan, aku menyeka setitik air mata di pelupuk; hampir saja terjatuh. Aku tidak menengok lagi ke belakang, malam sudah memeluk langit. Ada sabit di atas sana, mungkin setengahnya sudah dipetikkan Tuhan untuknya. Aku tersenyum, berjalan pulang.

This entry was posted in

1 comment:

  1. dari cara kamu melihat situasi..aku tahu kamu ini berdeda,...dan amat beharga...

    ReplyDelete