Senja sejenak lagi ‘kan dipetik cakrawala. Aku duduk dibalik kaca
jendela salah satu mobil angkutan umum berbulir air hujan. Kuciptakan celah
yang membiarkan angin menyapa masuk. Duduk diam termenung lama sampai mobil
berhenti dan masuk seorang anak kecil sekiranya berumur 7 tahun. Ia duduk di
bawah, tepat di pintu masuk. Dingin alumunium yang menjadi alas duduknya tak
dipedulikannya. Dengan kaleng kumuh, ia mulai memukul-mukul tangannya dan
bernyanyi ria walau terdengar asal. Tak banyak orang di mobil itu. Hanya ada
aku dan seorang ibu. Beberapa receh sudah ada digenggaman ibu itu. Lagu selesai
dan receh itu pun berganti tempat ke dalam kaleng milik si anak kecil kumal
berkaus kuning lusuh. Si anak kecil menatapku dengan binar harap penuh, aku
tersenyum dan bertanya padanya, apa ia tidak takut jatuh dengan posisi duduk
seperti itu? Hatiku teriris, sesungguhnya aku ingin bertanya; bagaimana ia
meniti waktu dengan hanya bermodalkan Bumi sebagai alas dan langit sebagai
atap? Si anak hanya terdiam dan kembali duduk. Matanya nanar melempar keluar
pandangan, maniknya bercerita berat akan banyak hal yang semakin mengoyak.
Mobil itu jauh membawanya ke tempat yang bahkan aku tak tahu ia kenal atau
tidak, menembus kabut hujan, senja emas semakin tertarik menuju anasir yang
membentuk malam. Aku meringkuk dalam peluk sendiri, sibuk mengecam negara dan
pasal-pasal yang melindungi anak-anak sepertinya. Dalam dimensi lain yang
dihadirkan waktu, mataku menangkap seorang Bapak yang sedang membukakan bungkus
es krim berbatang untuk anaknya, menemukan seorang Ibu yang mengatur posisi
agar anaknya bisa digendong di punggungnya, seorang Ayah yang membuatkan video
untuk dikirimkan pada anaknya yang tinggal jauh dengannya, seorang tukang becak
tidur dengan posisi memprihatinkan; mungkin lelah. Aku bergetar, ada kecamuk
rasa yang bermain di dalam, betapa kaca mata dunia ini adalah mereka. Ini
potret yang meremukkan. Ini pigura yang menghantam.
Aku belum turun
dari mobil itu, ketahuilah. Sebelum ada sepasang mata yang memecah bendungan
air mata, aku merogoh saku, menemukan receh untuknya. Ada sejumput doa-doa
kecil di receh dan tegadahan tangan penuh noda itu; suatu saat nanti kita akan
memotong rembulan untukmu. Aku meminta supir memberhentikan mobil, turun dari
sana, sesegukkan, aku menyeka setitik air mata di pelupuk; hampir saja
terjatuh. Aku tidak menengok lagi ke belakang, malam sudah memeluk langit. Ada
sabit di atas sana, mungkin setengahnya sudah dipetikkan Tuhan untuknya. Aku
tersenyum, berjalan pulang.
dari cara kamu melihat situasi..aku tahu kamu ini berdeda,...dan amat beharga...
ReplyDelete