Sekitar akhir April, pada Sabtu siang yang lengang, aku
berkesempatan mengisi lokakarya tentang penulisan wara di sebuah institusi. Ada satu pertanyaan yang belakangan ini sering kudapati pada
sesi-sesi yang kubawakan, “Mbak Vero, sekarang sudah ramai teknologi AI
(kecerdasan buatan), apakah ke depannya profesi copywriter yang sedang Mbak jelaskan teori dan praktiknya akan
tergantikan?”
Aku ketika mengisi lokakarya luring penulisan wara |
Peserta lainnya tampak mengamini pertanyaan itu. Buat apa belajar dasar menulis untuk industri jika ada mesin cerdas yang bisa mengerjakan keahlian tersebut? Banyak pikiran yang sudah tertebak: lebih baik waktunya dipakai meningkatkan skill lain yang lebih penting dan tak akan terganti.
Ditambah lagi, jika salah satu sektor menulis yang benar-benar komersil seperti penulisan wara bisa ‘direbut’ oleh AI, bagaimana nasib disiplin penulisan lainnya? Sebut saja novelis, cerpenis, esais dan sejenisnya yang bahkan ‘lebih babak belur’ oleh isu royalti yang sedikit, dipotong pajak pula, honor ala kadar, ditambah lagi pembajakan, hingga kurangnya daya beli masyarakat terhadap produk literasi.
Kondisi ini makin ditegaskan oleh studi Goldman Sachs (2023) yang menyampaikan bahwa AI akan menyebabkan disrupsi signifikan terhadap bursa kerja dan berdampak pada 300 juta jenis pekerjaan di dunia, salah satunya ancaman terhadap profesi penulis.
Bisa dibilang, kita yang masih ‘berani’ menekuni pekerjaan
menulis adalah orang-orang yang bernyali! Kena hantam sana-sini, tapi kita
masih saja tak mau pindah ke lain hati profesi. Kreativitas kita dalam
mengolah kata dan cerita tak hanya bersaing dengan sesama penulis, tapi juga
mesin. Rasanya seperti writer vs world.
Namun, benarkah begitu?
Tak Seperti Mantan
Aku pun mengajak teman-teman peserta saat itu untuk membayangkan suatu hal sederhana.
“Bayangkan novel-novel favorit kita dari luar negeri yang diterjemahkan sehingga bisa kita nikmati bersama ceritanya, kenapa ya, penerbit harus capek-capek nyewa jasa translator padahal ada Google Translate?”
Sebab alat bantu translasi hanya menerjemahkan kata per kata, sementara seni menerjemahkan perlu menangkap nuansa, memahami makna, serta menganalisis budaya untuk kemudian menciptakan karya terjemahan yang relevan antar bahasa. Mesin, robot, dan alat bantu teknologi itu tidak membaca konteks.
Begitu juga yang pada penulisan. AI tidak mampu menangkap hal-hal imateril, ia sekadar memindai perintah sehingga hasilnya sering kali terasa kaku dan tidak pas pada tempatnya. Tulisan AI pada akhirnya membutuhkan sentuhan penulis untuk menjadikannya tidak sekadar susunan kata mati, melainkan tulisan yang berkomunikasi karena memiliki emosi.
AI membantu kita menyusun kata, tapi penulislah yang membuatnya jadi cerita bernyawa.
“Bayangkan nasi goreng tok-tok yang kita suka pesan tengah malam dari gerobak abang-abang, kok masih aja kita keluar duit beli, padahal kita bisa bikin sendiri dengan bahan-bahan di rumah, plus banyak kok resep rahasia nasgor di YouTube yang bisa kita tiru?”
Sesederhana karena nasgor gerobakan lebih enak. Si abang penjual, ‘lebih ahli’ dalam memasak nasi goreng dengan bumbu pas, kecap rahasia, dan cara membuat yang tiada duanya. Walau punya bahan yang sama tapi jika diserahkan pada ahlinya, hasilnya berbeda. Karena yang ahli, punya taste - mana takaran tepat, mana yang tidak.
Menulis tak jauh berbeda dengan nasgor enak si abang. Kita mungkin punya bahan-bahannya, tapi hasil masakan kita tidak seenak itu. Kita mungkin punya AI, tapi hasil tulisannya tidak sebagus itu. Kita butuh si abang, chef-nya. Kita butuh penulis, ahlinya.
Sebab AI dibentuk dari sekadar training, sementara penulis dilahirkan dari pengalaman dan kasus nyata sehari-hari.
“Bayangkan berita-berita yang biasa orang tua kita baca di koran atau e-paper langganan, masih aja ada jurnalis yang nulis berita-berita itu, kenapa gak kita aja? Wong kita modal HP aja bisa kok. Coba foto workshop kita hari ini, tulis caption ala berita, unggah di blog atau X (Twitter), kalau rame malah bisa dimonetisasi jadi duit.”
Ada etika dalam jurnalistik. Hasil karya berita para jurnalis melewati prinsip-prinsip jurnalistik yang mempertimbangkan berbagai pihak, tidak sekadar unggah dan viral. Maka itu, jurnalistik warga tidak serta-merta menggeser jurnalistik profesional.
Hal yang sama juga terjadi dengan penulis. Adanya AI writing tidak langsung ‘membuang’ profesi penulis. Karena hasil AI tidak serta-merta bisa dipakai, ia perlu penulis untuk menilai apakah tulisan tersebut cukup layak tayang atau tidak, mengevaluasi apakah informasinya sudah diperbarui atau belum, menganalisis apakah diksinya etis atau justru menyinggung.
Sensitivitas ini membuat tulisan lebih terhubung dengan audiens atau bisa dibilang personalisasi. AI menghasilkan tulisan, sementara penulis menghasilkan tulisan yang berkepribadian.
Pada akhir sesi tanya-jawab ini, kusampaikan pernyataan terakhirku pada lokakarya tersebut. “Penulis itu bukan seperti mantan, yang bisa digantikan karena sudah ada ‘sosok’ baru yang lebih oke.” Seisi kelas daring itu memberi emotikon tertawa.
Kawan Bukan Lawan
Lalu, apakah aku memusuhi AI? Aku bisa menjawabnya dengan bulat: tentu saja tidak. Kantorku saat ini tempat aku berkarya sebagai Sr. Copywriter, bahkan melanggan ChatGPT 4.0 Premium untuk kugunakan. Aku bahkan diikutikan dalam pelatihan-pelatihan pemanfaatan AI, hingga aku sendiri mengeksplorasi dan mengombinasikan berbagai AI untuk menulis komersil.
Setiap hari aku mengajak AI melakukan brainstorming ide-ide konten media sosial dan kampanye brand, membantuku mengoreksi grammatical error yang mungkin terlewat olehku, ‘memaksa’nya memberiku second opinion untuk hasil tulisanku, dan banyak lagi!
AI punya kelemahan dalam hal konteks dan emosi, aku menambal kekurangan itu. Sebagai penulis, kita bisa buntu dan tidak cepat menghasilkan ide ataupun draf awal, AI mengisi kekosongan tersebut. Dari sini terlihat peran antara AI writing dan penulis: kolaborasi.
Alih-alih menggantikan penulis, aku memandang AI sebagai alat bantu yang memperkuat keterampilanku. AI membantuku meriset, menyunting, dan menyarankan ide-ide baru sehingga aku sebagai penulis bisa punya lebih banyak waktu untuk fokus pada aspek kreatif lain.
Kolaborasiku bersama AI memungkinkanku lebih produktif dan inovatif. Aku bisa memanfaatkan AI tanpa harus kehilangan keunikan dan kreativitasku sebagai penulis dan manusia. Penulis tengah memasuki era menulis ditemani teknologi, maka kuncinya adalah adaptasi. Penulis yang menggunakan AI bisa lebih unggul daripada yang tidak.
You & A.I: love hate relationship |
Sama seperti taksi biasa yang hadir kembali ke pasaran dengan mengadopsi sistem pesan daring. Sama seperti toko-toko kelontong tradisional yang terus relevan dengan membuka toko daring di e-commerce. Sama seperti ojek pangkalan yang berubah menjadi ojek berbasis platform. Sama seperti layanan logistik JNE yang tidak sekadar memanfaatkan kendaraan konvensional dalam proses antar kirim barang tapi juga menguji coba drone dan robotik.
Saatnya kita penulis juga berkawan dengan AI, memanfaatkannya untuk karier kreatif berkelanjutan di masa depan bukan untuk mematikan pekerjaan.
Bahkan kemunculan AI justru melahirkan profesi-profesi ‘penulis baru’, yaitu prompt writer. Pekerjaan yang merancang dan menulis prompt (petunjuk atau perintah) untuk model bahasa seperti GPT-4. Tugas utama mereka adalah membuat teks atau instruksi yang akan menghasilkan respons yang diinginkan dari model bahasa, mulai dari membuat konten chatbot hingga menulis simulasi percakapan.
Adaptasi dan kolaborasi, kunci penulis memasuki era digital serba teknologi. Aku jadi ingat salah satu atasanku yang sempat berkata pada kami ketika kantorku secara masif berlangganan berbagai tools AI, “AI itu jangan dilihat sebagai artificial intelligence, tapi alternative intelligence.”
AI hanyalah salah satu alternatif alat bantu untuk memproses pekerjaan kreatif, sama seperti alat bantu digital lainnya. Jadi, jangan ragu apalagi takut. Dengan semua inovasi kemudahan ini, saatnya gasss terus semangat kreativitasmu dalam menulis!
#JNE #ConnectingHappiness #JNE33Tahun #JNEContentCompetition2024
#GasssTerusSemangatKreativitasnya