Wednesday, 9 March 2016

Fakta-fakta yang Harus Kamu Tahu Seputar Buku 'Bicara Cinta' (1)


Sama seperti pengerjaan buku-buku pada umumnya, pasti selalu ada cerita menarik di balik proses penulisan dan pembuatannya, sejenis behind the scene-nya. Dan, itu juga terjadi pada naskah #BicaraCinta – selain fakta bahwa aku dan Alberta Angela (kawan jauhku yang gambar-gambar apiknya menambah ‘roh’ tulisanku di buku ini). Berikut beberapa fakta (aneh dan absurd) terkait ‘penciptaan’ #BicaraCinta yang kudu kamu tahu:

1. Judul paling awalnya adalah ‘Membincangkan Cinta’

Naskah #BicaraCinta mulanya diajukan lewat sampel naskah, yang kala itu dibuat 19 halaman PDF + proposal naskah.Ketika sampel sudah jadi, kita kebingungan mencari judul, berbagai alternatif judul bertebaran, mulai dari ‘Coretan Hati’, ‘Catatan Kecil Tentang Apa yang Disebut Cinta’, ‘Bisikan Hati’, ‘Coretan Rasa’, dan lain-lain, sebelum akhirnya maju dengan ‘Membincangkan Cinta’ – lalu dirombak lagi setelah diskusi berhari-hari bersama editor dan redaksi penerbit untuk dikukuhkan menjadi ‘Bicara Cinta’. Prosesnya cukup panjang utnuk mendapat judul yang lumayan enak diucapkan dan didengar telinga serta mencerminkan isi buku, bahkan tagline ‘menemukan yang sembunyi di antara kata dan sketsa’, dipilih setelah mencoret-coret kertas puluhan kali dan sempat kudiskusikan juga dengan dosen Corporate Communication (konsultasi tagline yang ‘menjual’ dan buat penasaran itu yang seperti apa). Cukup memusingkan, tapi ini pencarian yang mengasyikan. 
Potret yang atas adalah foto 'meja kerja' aku, yang di bawah adalah 'meja kerja' Alberta ketika mengerjakan sampel naskah 'Bicara Cinta'. Saat itu, kita masih saling berkhayal tinggi-tinggi andai naskah ini jadi dan bisa dipajang di toko buku, lalu jadi best-seller. Sekarang, kalau ingat kala itu, kita selalu tertawa.
 2. Jangan Ditiru: Begadang sampai Jam 5 Pagi (dan Bolos Kuliah Satu Hari)

“Aku enggak yakin hari ini bisa mulai ngegambar, Ver. Paginya kelas sampai sore, belum lagi kerja kelompok. Malamnya sudah ada janji sama kawan, terus pulangnya langsung nugas,” ujar Alberta, ketika mengetahui tenggat waktu tidak sampai sebulan. Karena kita berdua tahu, menulis quote dan menggambar ilustrasi yang feeling-nya sesuai, tidak semudah ketika kita membalikkan halaman-halaman buku.  Kujawab padanya tak apa, atur waktu saja sebisa mungkin seraya kuingat-ingat juga agendaku yang semakin memadat.
salah satu sketsa awal untuk halaman handwriting di dalam buku 'Bicara Cinta'
 Dan, inilah yang terjadi: Alberta memastikan diri terjaga hingga pukul lima pagi – yang mana kuketahui karena ia selalu mengirimkan dan memperbarui gambar maupun lukisan mininya tiap jam terhitung mulai pukul nol-nol, sampai aku bangun jam lima pagi. Aku melongo depan ponsel – mengingat aku sudah ‘lenyap’ sejak pukul setengah satu pagi. Hal terus terjadi sampai menjelang tenggat, aku mulai kelabakan karena ‘kamu tak bisa menulis quote-quote hanya dengan duduk di depan layar laptop selama berjam-jam, kamu butuh pergi keluar, bertemu orang-orang, berinteraksi, mengamati keramaian, mengheningkan diri sejenak, menyatukan indera dengan semetsa untuk memadatkan makna ke dalam beberapa baris kalimat’. Akhir November depan mata, aku masih harus mematangkan beberapa kalimat dan hari Sabtu kupilih untuk jadi ‘korban’ pembolosanku. Keadaannya seperti ini: saat teman-teman sedang terkantuk-kantuk mengikuti kelas, aku memilih spot terbaik di rumah untuk mendiamkan diri mencari wangsit.

3. Mengasingkan Diri ke Gunung dan Melawan Naga (baca: Semedi)

Beberapa kalimat dalam buku #BicaraCinta, kudapat setelah semedi ringan, jadi hasilnya bisa saja aku hanya mendapat dua kutipan dalam waktu satu jam. Lama bukan? Aku hanya ingin memastikan segalanya tidak prematur dan kata-kata yang dipilih benar-benar mewakili pesan yang ingin disampaikan. Semedi ringannya benar-benar sederhana: segelas teh, hening, diam (kadang aku menutup mata, kadang juga tidak), dan mulai mendalami rasa. Kedengarannya konyol, tapi hampir setiap aku menulis apapun, aku akan diam dengan segelas teh ditemani secarik kertas bekas yang masih putih dan bolpoin. Ketika ide atau inspirasi itu datang, aku akan menulis secara acak. 
 4. Naskah Selesai berjumlah 150 Halaman PDF yang diselesaikan dalam waktu 25 Hari

Akhirnya selesai juga. Kerja keras memang tidak mengkhianati, terutama ketika editor bilang hasilnya apik dan ciamik. Alberta dan aku bernapas lega, setelah dua puluh lima hari berjuang di sela-sela kesibukan jadwal masing-masing hingga berteriak di hadapan kalender November ‘ke mana tanggal 31 bersembunyi’ (karena pada bulan sebelas tersebut, penanggalan hanya berakhir di angka 30). Terlepas dari tenggat-tenggatnya, bagiku, quote-quote-nya sendiri tidak selesai dalam hitungan puluhan hari, melainkan sepanjang angka aku hidup – karena melahirkan quote-nya, aku membutuhkan pelajaran dari kenangan dan angan-angan yang tergantung di depan.

5. Tentang Lembar Persembahan

Ada yang bilang, ‘halaman persembahan buku terasa sangat personal, dan memang, lembar-lembar lainnya juga demikian’. Aku tertegun – setiap cerita selalu punya jiwanya masing-masing, ia dibentuk dari banyak macam hal, salah satunya kegelisahan, atau risau-risau hati yang tak kunjung tergenapi. 
“Aku curiga, mungkin para motivator atau inspirator bukanlah orang yang paling kuat, sebaliknya, mereka adalah yang paling rapuh, yang menangis di malam harinay tapi bangun di pagi hari dengan senyuman,” kataku pada Alberta, dan ia membalasnya, siapapun bisa membicarakan cinta – siapa saja adalah pecinta. Dan sekaligus penyimpan luka. Mungkin kita adalah salah satunya yang andal.

2 comments: