Tuesday, 5 January 2016

Tuts Hitam



Aku terlibat percakapan dengan diriku sendiri.
Pria itu – aku tidak terlalu mengamatinya dengan jelas – mungkin mengenakan jaket krem atau cokelat muda dengan resleting panjang di tengahnya yang terbuka. Ia menjinjing sebuah tas hitam – menyerupai tas laptop. Awalnya aku tidak terlalu memerhatikannya, kukira ia bagian dari lalu lalang orang-orang yang usai bekerja dan hendak pulang; mengingat waktu sudah menunjukan siapa dirinya – remang lampu kota yang sudah terlihat semakin jelas, kendaran bermotor berjalan tersendat berebut mendapat tempat terdepan dengan beradu cepat, dan silau iklan billboard bergerak di bundaran jalan. Ia terlihat seperti lelaki paruh baya dengan mawar putih di kantong kemejanya, yang tak sampat ia berikan pada istrinya karena dirundung berbagai timbang di kepalanya. Mungkin kenangan yang masih meragu.
“Ini seperti belenggu. Ia terlalu jauh untuk disebut kekasih, juga terlalu dekat hanya untuk kukatakan teman.”
Aku semakin menyembunyikan diri di dalam pantulan bayang gedung tinggi yang sejumlah lampunya sengaja tidak dinyalakan; cukup kukatakan redup. Aku memeluk diri dan menyaksikan bagaimana malam melakoni perannya seperti biasa. Pandanganku lurus menembus dinding kaca di hadapanku – dan pria yang tadi lewat, nyatanya tidak ke mana-mana. Tak ada irama langkah kakinya yang mengikuti arus orang-orang yang keluar dari gedung dan ingin cepat menemui siapapun yang menunggu di tujuan. Lalu, kudengar tuts-tuts piano dimainkan. Pria yang sudah duduk di balik piano, mungkin tidak menyadari ada aku di sampingnya. Ia terus memainkan beberapa musik, dan aku berusaha menebak, salah satu lagu berbahasa Mandarin yang sering kudengar tapi tak kukenali judulnya, lalu komposisi musik dari salah satu pianis Korea, terus lagi – dan aku berhenti. Kubiarkan nadanya menyatu dengan sunyi yang saling bercengrama dengan bangku-bangku tunggu bisu di depanku.
sumber gambar: blog.lili.farm
 “Air, yang turun dari matamu, juga berbahasa. Bahkan melebihi puisi itu sendiri. Aku pernah dengar, jika ia tumpah dari sudut kiri, berarti air matanya dimiliki kesedihan.”
 Kuizinkan bisu dan diam berpora, betapa kata kehilangan dirinya, dan butuh lebih dari sekadar metafora untukku agar bertanya pada pria itu; mengapa Anda tidak segera pulang, apa yang piano katakan pada Anda hingga ia mampu mengunci langkah Anda, siapakah yang Anda ingat ketika menekan tuts hitam begitu pula ketika berganti putih. Ia justru berhenti untuk lebih dari lima lagu. Puisiku berantakan di lantai dingin sehabis disetubuhi hujan siang tadi. Kalimatku berceceran hingga bingung bagaimana harus menyusun diri di atas kertas. Himpun-himpun paragraf meloncat ke sana ke mari, menertawaiku. Akhirnya aku menulis acak bagai seorang gila – bersama kelebat aku yang kehilangan janji hari ini, ditimbuni pekerjaan yang berniat membunuh, dan bertengkar dengan lelaki yang kucintai.
“Mencintai, kawanku. Kadang kali berarti melepas. Ketika Tuhan melepas kita ke semesta ini. Ketika orang tua melepas anaknya untuk menikah dan membentuk keluarga. Ketika seorang sahabat melepas sahabatnya yang lain agar ia bisa bergaul lebih luas dan mengenal lingkungan. Ketika melepas,” suaraku hilang.
Lagunya usai. Si pria menutup permainannya. Ia pergi berlalu begitu saja, menenteng kembali tasnya, lantas punggungnya mengecil di ujung beloka yang mengantarnya pada pintu kaca yang berarti keluar. Aku tergagap bangkit, hendak mengejarnya setelah merobek kertas yang sudah kutulisi untuk kuberikan padanya. Tapi ia telah lenyap, aku sekali lagi sendiri bersama piano – dan aku melihatnya bagai alat musik yang teronggok di sebuah gudang tua, dan seberkas cahaya dari lubang kecil genteng meneranginya. Nada selalu punya cara yang berbeda mengungkpakan cerita yang dipunyainya, semoga ada sepenggal puisi yang cukup berteman dengannya – biar mereka saling berbincang; tentang perempuan yang tengah menunggu dengan hati janggal, dan seorang pria yang menemukan rumah di balik pianonya.
“Aku mencintainya dalam keraguan, tak jauh berbeda dari harapan. Ragu adalah harapan yang tak kita yakini dengan baik.”
Aku gagal membaca pria itu dari musik yang dipilihnya atau alasannya sendirian memainkan musik tanpa menuntut siapa yang harus mendengarnya. Kusambar kertas baru, menulisnya dengan barisan kalimat lain, merobeknya perlahan dalam dekap gelap, lalu pelan-pelan berjalan ke arah piano. Kubuka tutupnya, dan kuselipkan secarik pesan di sana; isinya berupa tanda tanya. Perihal rumah dan pulang.
Entah siapa – kubayangkan, esok paginya yang membuka tutup piano dan menemukan kertasku di sana.  Siapa saja dan siapa pun, kubisikan, tak ada kebetulan, mungkin puisi itu memilihmu untuk membacanya.
This entry was posted in

4 comments:

  1. Ketika hanya sebuah lagu yang dapat mewakili semua perasaan yang ada.

    Semua itu seperti mendengarkan lagu yang terdengar familiar tapi tidak ingat judulnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga kenangan tak lagi menjanggal dan mengganjal :)

      Delete
  2. Wah sudah beda ya sekarang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah iya, tampilannya berubah seiring domainnya juga yang berubah. Semoga suka ya, dan terima kasih masih berkunjung ke mari :)

      Delete