Aku terlibat percakapan dengan
diriku sendiri.
Pria
itu – aku tidak terlalu mengamatinya dengan jelas – mungkin mengenakan jaket
krem atau cokelat muda dengan resleting panjang di tengahnya yang terbuka. Ia
menjinjing sebuah tas hitam – menyerupai tas laptop. Awalnya aku tidak terlalu
memerhatikannya, kukira ia bagian dari lalu lalang orang-orang yang usai
bekerja dan hendak pulang; mengingat waktu sudah menunjukan siapa dirinya –
remang lampu kota yang sudah terlihat semakin jelas, kendaran bermotor berjalan
tersendat berebut mendapat tempat terdepan dengan beradu cepat, dan silau iklan
billboard bergerak di bundaran jalan. Ia terlihat seperti lelaki paruh baya dengan
mawar putih di kantong kemejanya, yang tak sampat ia berikan pada istrinya
karena dirundung berbagai timbang di kepalanya. Mungkin kenangan yang masih meragu.
“Ini
seperti belenggu. Ia terlalu jauh untuk disebut kekasih, juga terlalu dekat
hanya untuk kukatakan teman.”
Aku
semakin menyembunyikan diri di dalam pantulan bayang gedung tinggi yang
sejumlah lampunya sengaja tidak dinyalakan; cukup kukatakan redup. Aku memeluk
diri dan menyaksikan bagaimana malam melakoni perannya seperti biasa.
Pandanganku lurus menembus dinding kaca di hadapanku – dan pria yang tadi lewat,
nyatanya tidak ke mana-mana. Tak ada irama langkah kakinya yang mengikuti arus
orang-orang yang keluar dari gedung dan ingin cepat menemui siapapun yang
menunggu di tujuan. Lalu, kudengar tuts-tuts piano dimainkan. Pria yang sudah
duduk di balik piano, mungkin tidak menyadari ada aku di sampingnya. Ia terus
memainkan beberapa musik, dan aku berusaha menebak, salah satu lagu berbahasa
Mandarin yang sering kudengar tapi tak kukenali judulnya, lalu komposisi musik
dari salah satu pianis Korea, terus lagi – dan aku berhenti. Kubiarkan nadanya
menyatu dengan sunyi yang saling bercengrama dengan bangku-bangku tunggu bisu di
depanku.
sumber gambar: blog.lili.farm |
“Air, yang turun dari matamu, juga
berbahasa. Bahkan melebihi puisi itu sendiri. Aku pernah dengar, jika ia tumpah
dari sudut kiri, berarti air matanya dimiliki kesedihan.”
Kuizinkan bisu dan diam berpora, betapa kata
kehilangan dirinya, dan butuh lebih dari sekadar metafora untukku agar bertanya
pada pria itu; mengapa Anda tidak segera pulang, apa yang piano katakan pada
Anda hingga ia mampu mengunci langkah Anda, siapakah yang Anda ingat ketika
menekan tuts hitam begitu pula ketika berganti putih. Ia justru berhenti untuk
lebih dari lima lagu. Puisiku berantakan di lantai dingin sehabis disetubuhi
hujan siang tadi. Kalimatku berceceran hingga bingung bagaimana harus menyusun
diri di atas kertas. Himpun-himpun paragraf meloncat ke sana ke mari,
menertawaiku. Akhirnya aku menulis acak bagai seorang gila – bersama kelebat aku
yang kehilangan janji hari ini, ditimbuni pekerjaan yang berniat membunuh, dan
bertengkar dengan lelaki yang kucintai.
“Mencintai, kawanku. Kadang kali
berarti melepas. Ketika Tuhan melepas kita ke semesta ini. Ketika orang tua
melepas anaknya untuk menikah dan membentuk keluarga. Ketika seorang sahabat
melepas sahabatnya yang lain agar ia bisa bergaul lebih luas dan mengenal
lingkungan. Ketika melepas,” suaraku hilang.
Lagunya
usai. Si pria menutup permainannya. Ia pergi berlalu begitu saja, menenteng
kembali tasnya, lantas punggungnya mengecil di ujung beloka yang mengantarnya
pada pintu kaca yang berarti keluar. Aku tergagap bangkit, hendak mengejarnya
setelah merobek kertas yang sudah kutulisi untuk kuberikan padanya. Tapi ia
telah lenyap, aku sekali lagi sendiri bersama piano – dan aku melihatnya bagai
alat musik yang teronggok di sebuah gudang tua, dan seberkas cahaya dari lubang
kecil genteng meneranginya. Nada selalu punya cara yang berbeda mengungkpakan
cerita yang dipunyainya, semoga ada sepenggal puisi yang cukup berteman
dengannya – biar mereka saling berbincang; tentang perempuan yang tengah menunggu
dengan hati janggal, dan seorang pria yang menemukan rumah di balik pianonya.
“Aku mencintainya dalam keraguan,
tak jauh berbeda dari harapan. Ragu adalah harapan yang tak kita yakini dengan
baik.”
Aku
gagal membaca pria itu dari musik yang dipilihnya atau alasannya sendirian
memainkan musik tanpa menuntut siapa yang harus mendengarnya. Kusambar kertas
baru, menulisnya dengan barisan kalimat lain, merobeknya perlahan dalam dekap
gelap, lalu pelan-pelan berjalan ke arah piano. Kubuka tutupnya, dan kuselipkan
secarik pesan di sana; isinya berupa tanda tanya. Perihal rumah dan pulang.
Entah siapa – kubayangkan, esok
paginya yang membuka tutup piano dan menemukan kertasku di sana. Siapa saja dan siapa pun, kubisikan, tak ada
kebetulan, mungkin puisi itu memilihmu untuk membacanya.
Ketika hanya sebuah lagu yang dapat mewakili semua perasaan yang ada.
ReplyDeleteSemua itu seperti mendengarkan lagu yang terdengar familiar tapi tidak ingat judulnya.
Semoga kenangan tak lagi menjanggal dan mengganjal :)
DeleteWah sudah beda ya sekarang
ReplyDeleteAh iya, tampilannya berubah seiring domainnya juga yang berubah. Semoga suka ya, dan terima kasih masih berkunjung ke mari :)
Delete