“…teknik
menulis itu bisa dipelajari, yang berbeda dan penting adalah sikap/pribadi kita
dalam memandang hidup. Budi Darma menyebutnya sebagai obsesi.”
– Agus Noor
Segmen
kedua dalam workshop cerpen Kompas yang diselenggarakan nonstop dari pagi
hingga sore itu (25/6) di Gedung Kompas Gramedia Palmerah Selatan itu, diisi
oleh sastrawan Agus Noor. Berbeda dengan permateri sebelumnya, Agus Noor
membuka sesi kedua dengan power point dan sebuah papan tulis. Agus Noor meraih
sebuah spidol hitam dan menulisi papan tulis putih dengan sebuah kata ‘rumah’,
dan kami diminta untuk menyebutkan hal pertama yang terlintas di pikiran ketika
mendengar kata ‘rumah’. Mulai dari sederetan kata seperti keluarga, kehangatan,
penjara, peraturan hingga kuburan pun disebut. Agus Noor mulai meminta kami
untuk menjelaskannya, salah satunya aku; yang menjawab kuburan.
“Kenapa
kuburan?”
“Jika
Agus Noor tadi bilang, sebagai seorang penulis haruslah punya pandangan hidup,
maka saya memandag hidup ini sebagai stasiun penyinggahan sementara. ‘Rumah’
sebenarnya adalah kuburan – rumah pengistirahatan kita.”
“Oke,
itu berarti kamu punya cerita!” ujar Agus Noor mantap sambil menunjuk ke
arahku, Agus Noor pun kembali melanjutkan,
“Bagi
gue, rumah mengingatkan gue pada tikus-tikus. Di sebuah rumah tua nan gelap
yang dihuni oleh seorang paruh baya yang memiliki penyakit – yang membuatnya
ditinggal orang-orang di sekitarnya. Orang paruh baya itu akhirnya mati di
bangku tuanya, dengan sepotong keju di kaki bangku itu – keju yang dimakan
tikus-tikus. Ini mengartikan jika si orang paruh baya itu merelakan makanan
satu-satunya yang ia punya (keju) pada tikus-tikus di rumah itu,” ujar Agus
Noor sembari berjalan ke tengah-tengah kami. Beliau pun kembali menyambung
ucapannya,
“Bisa
kita lihat sendiri, dari sebuah kata ‘rumah’ saja, kita mendapati
pikiran-pikiran yang berbeda – mulia dari penjara, peraturan, kuburan dll. Apa
yang membuatnya berbeda dan memicu orisinalitas? Pandangan hidup!”
Agus
Noor yang siang itu mengenakan kaus ketat kelabu, celana panjang hitam yang
dipadukan dengan sepatu boots berwarna krem, mulai menjelaskan makna dibalik
perkataannya tadi.
“Kenapa
gue bilang tiap penulis harus punya pandangan hidup, dikarenakan pandangan
hidup Anda dengan sendirinya akan menuntun Anda menuju kreativitas – menemukan
hal-hal yang tidak terpikirkan oleh orang lain, membuat Anda berbeda. Jika
ditanya apa pandangan hidup gue? Bagi gue, hidup itu ironi, penuh keganjilan.
Absurd-absurd itulah selera gue,” timpal Agus Noor tegas.
Tak
hanya mendesak kami untuk memiliki pandangan hidup, Agus Noor juga memberi
barisan tips untuk menembus media koran terutama Kompas. “Gini, gue tahu
harapan lo semua. Habis dari workshop ini, impian lo pastinya pulang ke rumah,
nulis dan nembus Kompas? Biar gue kasih tahu caranya,” ujar Agus Noor seraya
tertawa, yang tanpa dikomando, kami semua turut larut dalam tawa. Berikut tips
(berharga nan eksklusif, hihi) dari Agus Noor :
1. 1. Cerpen
haruslah punya nilai/prinsip (Agus Noor menyebut nilai/prinsip sebagai value
cerita)
Hal
mendasar yang membuat cerita memiliki value adalah ketika si penulis mempunyai
prinsip dasar dalam hidup. Contohnya saja Agus Noor sendiri yang bergelut
dengan ironi-ironi dan absurditas, sekarang ini beliau tengah terobsesi dengan
anjing. Agus Noor memiliki prinsip dasar hidup yakni ironi, maka Agus Noor
mengolah cerita tentang seekor anjing dan seorang gadis jelita dalam kemasan
yang ironi (ketika mengisahkan contoh ironi ini, Agus Noor memerlihatkan satu
cerpennya yang belum rampung pada kami semua – yang apabila ingin ditulis di
blog ini akan sangat panjang).
2. Mendisiplinkan diri
2. Mendisiplinkan diri
Ini
adalah fakta yang membuatku dan peserta lain ternganga. Agus Noor mendisiplinkan dirinya dalam
menulis dengan wajib kudu harus menulis setiap harinya dengan waktu 7 – 9 jam.
Agus Noor menulis banyak hal – beliau menulis ketika mendapati potret-potret
instagram, foto di instagram itu dibuatnya sebagai cerita. Ide cerita mengenai
ironi-ironi dalam cerpen-cerpennya sebagian besar terinspirasi dari berita-berita
unik di kolom Kilas Kawat Internasional
yang ada di koran Kompas. Banyak hal unik, tidak masuk akal, absurd dan unik di
kolom tersebut, yang diolah bersama kreativitas Agus Noor, lalu terciptalah
sebua cerpen-cerpen abusrd penuh ironi. Agus Noor bahkan sampai meng-kliping
kolom Kilasan Kawat Internasional tersebut dalam buku note sedangnya yang
berkaver hitam.
“Mendisiplinkan
diri sangatlah penting agar tulisan bisa selesai. Gue sendiri, dalam sebulan
harus bisa jadi lima cerpen, mau itu jadi atau gak. Yang terpenting adalah
kalian ‘menghasilkan’! Tahukah kalian, Christiano Ronaldo, sebelum ia jadi
pemain seepak bola sehebat sekarang, dulunya latihan menendang bola saja butuh
wkatu hingga delapan jam. Contoh lain, Arswendo, di rumahnya dulu ada empat
mesin tik yang dipakai beliau bergantian untuk menulis cerita, hingga
menghasilkan karya Senopati Pamungkas.”
3. Bahasa menarik saat kalimat pertama
3. Bahasa menarik saat kalimat pertama
Menurut
Agus Noor, kalimat pertama dalam cerita bukanlah benar-benar ‘kalimat pertama’
yang dimaksud. Kalimat pertama juga bisa diartikan, paragraph pertama yang
menarik. Dan, mengenai kalimat pertama yang menarik ini, Agus Noor punya ciri
khas tersendiri. Beliau paling suka mencatat kalimat-kalimat yang terlintas di
ruang pikirnya kapan pun – bahkan saat di kamar mandi, menunggu kendaraan dan
lain-lain, dengan cepat beliau menulisnya di note ponsel.
“Zaman
sekarang sudah canggih, kalimat pertama bisa terlintas dimana saja dan ditulis
di note smartphone. Contohnya kalimat pertama saya nih,” ujar Agus Noor sambil
mengeluarkan ponsel layar sentuhnya dari saku celana.
“…keadilan
lebih mudah didapat ketika berada di luar pengadilan. Bagus bukan? Gue jamin
habis ini pasti langsung nge-tweet kalimat gue tadi, hehe. Gue juga kadang
bingung, wuih, bisa ya gue nulis kalimat kayak gini hahahaha,” seloroh Agus
Noor mengundang tawa kami yang memenuhi ruang workshop. Agus Noor bisa ngelucu
juga ya (masih ngakak sampai sekarang tiap inget ini)
4. Jangan terpaku dengan teknik
4. Jangan terpaku dengan teknik
Jika
pada segmen pertama, Seno lebih menitik beratkan pada teori dan teknik
kepenulisan, Agus Noor di sesinya sendiri mengungkapan, teknik jangan dijadikan
topangan dasar. Teknik itu bisa didapat dengan sendirinya ketika kita jatuh dan
bangkit dari kegagalan, begitu menurut beliau.
“Gini
ya, gue kasih contoh sederhannya. Kayak kita belajar naik sepeda, ada yang
bilang: teknik naik sepdu tuh, dua tangan memegang setang,satu kaki di pedal
sepeda, satunya lagi untuk menahan keseimbang. Gue kasih tahu ya, itu semua
preketteeeeeek! Cara naik sepeda itu ya, tinggal naik dan gowes! Masalah
nantinya bakal jatuh? Ya, jatuh aja. Itu bagian dari belajar. Bagian dari
menemukan teknik! Sama kayak nulis, ga usah banyak teori dan teknik ini-itu,
yang penting langsung nulis aja.”
Terlepas
dari empat tips dari Agus Noor di atas, Agus Noor juga sempat menanyakan kami
di awal pembukaan segmen-nya, apakah arti menulis bagi kami semua. Karena
penting bagi seorang penulis untuk punya motivasi dan alasan. Menurut Agus
Noor, jika penulis ingin menulis dengan alasan terkenal, maka menulislah
seperti Andrea Hirata, menulislah tema-tema yang disukai pasaran dan membuat
terkenal. Semua motivasi itu adalah sah.
“Untuk
gue, menulis adalah cara gue menyelamatkan diri dari kegilaan. Kadang, ide gila
gue suka muncul tak terduga, misalnya saja saat melihat seorang bayi yang
tertidur pulas, pengen rasanya gue masukkin sesuatu ke hidungnya, hahaha. Nah,
dengan menulis, gue bisa menyalurkan kegilaan gue dan menyelamatkan gue dari
tindakan gila itu. Beda lagi dengan Budi Darma, beliau menganggap dunia ini
jurngkir balik, itu yang memotivasi beliau.”
Berkali-kali,
tiap kali Agus Noor membuka suara dan argumen, rasanya hampir sesering itu
jugalah kami mengangguk-angguk dengan pandang takjub pada beliau. Selepas
materi dan tips-tips keren yang diberitahukan beliau, Agus Noor pun membuka
sesi praktek.
“Jangan
cuma ngomong mau nulis, harus bilang ‘sedang menulis’. Makanya, ayo praktek!”
ucap Agus Noor dengan semangat. Beliau membagian kartu remi pada kami semua,
meminta kami untuk menulis sebuah kata – apa saja itu di atas kartu remi itu.
Lalu, sekumpulan kartu remi tersebut dikembalikan ke Agus Noor, beliau
mengocoknya dan menyuruh kami untuk memlih tiga kartu remi secara acak. Maka,
kami juga mendapat tiga kata dari tiga kartu remi itu. Tugas prakteknya, adalah
menyusun sebuah cerita singkat dari tiga kata di tiga kartu remi yang kami
pilih dalam waktu dua puluh menit (Agus Noor sendiri juga ikut memilih tiga
kartu remi – dan hanya dalam waktu kurang dari 20 menit saja, beliau sudah
selesai mengetik ceritanya). Setelah jadi, cerita singkat kami akan dibedah
oleh Agus Noor.
Aku
sendiri mendapat tiga kata; malampati, tompel dan denyar-denyar. Untuk melihat
cerita yang kubuat kala itu klik disini.
Sama
seperti segmen milik Seno, workshop dengan tema ‘Praktek Imajinasi, Kerja Nyata’-nya Agus Noor pun berakhir dengan
sesi selfie bersama dan book signing. Tak hanya itu, walau sudah dinyatakan
waktu istirahat, masih saja banyak peserta yang mengerumuni Agus Noor dan
bertanya banyak hal – dan tentu saja, Agus Noor kembali memberi ilmunya. Tips
terakhirnya adalah,
“Baca
deh tagline Kompas; amanat hati nurani rakyat. Maka bisa dikatakan,
cerpen-cerpen Kompas adalah tulisan yang memiliki keberpihakkan pada
kebenaran,” ujarnya sembari mengakhiri sesi sharing bersama saat itu.
Tentang Agus Noor
Tahun 1987, cerpennya ‘Kecoa’ muncul di Kompas pertama kali, dan sejak itu cerpen-cerpennya kerap dimuat Kompas Minggu. Cerpennya ‘Peang’ masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas yang ketiga dan sejak itu cerpennya nyaris selalu masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas. Cerpennya ‘Kunang-kunang di Langit Jakarta’ bersanding dengan ‘Salawat Dedaunan’ (Yanusa Nugroho) menjadi cerpen terbaik Kompas 2012. Sudah banyak menerima penghargaan sastra di Indonesia. Lebih dari empat tahun ia juga menulis skrip Sentilan Sentilun produksi program televisi di Metro Tv. Sedang menyiapkan dua buku barunya yang berjudul Cerita buat Para Kekasih dan Kitab Ranjang.
Tahun 1987, cerpennya ‘Kecoa’ muncul di Kompas pertama kali, dan sejak itu cerpen-cerpennya kerap dimuat Kompas Minggu. Cerpennya ‘Peang’ masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas yang ketiga dan sejak itu cerpennya nyaris selalu masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas. Cerpennya ‘Kunang-kunang di Langit Jakarta’ bersanding dengan ‘Salawat Dedaunan’ (Yanusa Nugroho) menjadi cerpen terbaik Kompas 2012. Sudah banyak menerima penghargaan sastra di Indonesia. Lebih dari empat tahun ia juga menulis skrip Sentilan Sentilun produksi program televisi di Metro Tv. Sedang menyiapkan dua buku barunya yang berjudul Cerita buat Para Kekasih dan Kitab Ranjang.
nice sharing
ReplyDeleteDokumentasi yang keren. Saya pengagum Agus Noor sejak lama. Sering-sering ikut workshop keren begini, terus ditulis di blog ini, ya! Saya pasti sering berkunjung ke sini.
ReplyDeleteMendisiplikan diri itu yang paling sulit...
ReplyDeleteThanks for sharing, Veronica.
Nice...... Bagus dan bermanfaat.
ReplyDeleteGa usah banyak teori dan teknik ini-itu, yang penting langsung nulis aja>> mendadak speechless. .____.
ReplyDeleteMakasih, Vero atas sharing-nya. Sangat sangat bermanfaat.